Cinta Tak Mesti Bersama

Yuk belajar lagi tentang cinta. Bukan cinta hina. Tapi cinta mulia. Cinta yang diajarkan orang-orang mulia. Kali ini kita akan belajar dari dua orang yang saling mencintai. Cinta yang bersemayam di hati. Sekian lama, ya sangat lama. Tapi cinta bertahan dan tak kunjung pergi. Taqdir memisahkan mereka. Tapi taqdir pula yang mempertemukan mereka kembali.

Cinta mereka sangat tulus dan suci. Begitu tulusnya hingga tak ada yang mampu memalingkannya. Begitu sucinya hingga tak ada syahwat yang mendesaknya. Mungkin kita akan berderai air mata. Bagaimana ada wanita semulia itu dan sesuci itu. Dan setahan itu. Dan bagaimana laki-laki mulia itu tegar mengajari cinta agar terus mewiridkan nama Rabbnya.

Ini asli sebuah kisah cinta. Cinta yang tak lekang oleh zaman. Perpisahan waktu, tempat, dan jarak bukanlah alasan. Justru waktu yang memisahkan, bak menghitung hari menunggu panen tanaman cinta yang semakin hari semakin ranum.

Namanya Fakhitah. Putri Abu Thalib, paman Nabi. Saudari Ali dan Ja’far. Atau lebih dikenal dengan Ummu Hani’.

Fakhitah ini pernah dilamar oleh seorang laki-laki mulia yang sangat mencintai Fakhitah. Tetapi Abu Thalib lebih memilih laki-laki lain yang bernama Hubairoh.

Laki-laki mulia yang ditolak lamarannya itu pun datang menemui Abu Thalib dan mengungkapkan perih isi hatinya, “Wahai paman, engkau nikahkan ia dengan Hubairoh dan kau tolak aku?”

Uuhhh… terasa perihnya… cinta yang tertolak angin taqdir hingga tak sanggup untuk berlabuh.

Abu Thalib memberikan alasan, “Kami ini dua keluarga besar yang sudah lama berbesan. Beginilah keluarga mulia membalas keluarga mulia.”

Mau apa dikata… bukti bahwa taqdir di atas segalanya. Bahkan di atas kekuatan cinta yang katanya mampu menaklukkan menjulangnya gunung dan ganasnya samudera. Kali ini, cinta harus mengakui kelemahannya. Di hadapan taqdir.

Rumah tangga Fakhitah pun berjalan dengan sangat baik. Sampai dianugerahi 4 anak; Ja’dah, Amr, Yusuf dan Hani’.

Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqot Al Kubro menuturkan detail kisah cinta ini.

Waktu terus berjalan. Dua insan yang saling mencintai itu masing-masing menjalani taqdirnya. Berpisah hingga nyaris tak ada lagi dalam tutur lisan. Tak ada lagi sua dan jumpa. 500 KM memisahkan mereka. Jarak di zaman itu. Tapi cinta memang luar biasa. Kita perlu belajar pada cinta atas kesabarannya. Ya, ia bersemayam dalam hati, menunggu dan menunggu. Hingga ketika semua telah melupakannya pun, ia tetap menunggu. Dan taqdir datang mengganti taqdir. Cinta kembali menemukan pintunya. Pintu yang halal.

Puluhan tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi cinta tetap bertahan di situ. Tak beranjak.

Cinta yang selama ini diam sejuta bahasa. Kini ia harus bicara. Ia memaksa lisan untuk menyadari bahwa cinta masih ada bertahan di sana, belum beranjak dari hati. Walau telah puluhan tahun lamanya.

Usia tak lagi muda. Laki-laki mulia itu sudah tua. Rambut sudah beruban. Bentuk tubuh dan raut wajah tak bisa menyebunyikan 60 tahun usianya. Ummu Hani’ pun telah berusia.

Cinta berjumpa lagi di usia senja.

Ummu Hani’ masuk Islam tahun 8 H. Tapi suaminya malah kabur dan tidak mau masuk Islam. Sehingga mereka harus cerai karena telah berbeda aqidah antara muslimah dan kafir.

Ummu Hani’ dipertemukan kembali dengan laki-laki mulia itu.Cinta menemukan muaranya. Dalam naungan hidayah. Walau usia tak lagi muda. Walau cinta telah terpisah puluhan tahun lamanya. Kini bersemi kembali.

“Siapa?” kata laki-laki mulia itu ketika Ummu Hani’ datang saat waktu Dhuha.

“Aku Ummu Hani’.”

“Selamat datang, Ummu Hani’.”

“Aku mau bertanya tentang kebenaran kalimat saudaraku yang akan membunuh dua orang yang telah minta perlindungan kepadaku,” Ummu Hani’ bertanya setengah meminta.

“Kami melindungi siapapun yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’,” cinta mulai menyapa.

Dalam pertemuan berikutnya…

Laki-laki mulia itu dengan jantan menyatakan cintanya: Aku melamarmu…!!!

Dahsyat!!! Kedahsyatan pertemuan dua cinta ini lebih dahsyat lagi karena disaksikan oleh tanah suci MEKAH.

Bergetar hati, berguncang jiwa

Benarkah…

Kini biarkan cinta yang menjawab lamaran itu. Cinta melalui lisan Ummu Hani’ bicara,

“Demi Allah aku dulu mencintaimu saat aku masih jahiliyyah. Maka apalagi saat kini aku telah masuk Islam,” cinta mulai menuturkan gelora yang tertahan.

Tak berhenti sampai di situ, cinta ingin membuktikan ketulusannya,

“Engkau lebih aku cintai dari pendengaranku dan penglihatanku.”

Ungkapan cinta mengoyak rasa…

Di hadapan laki-laki mulia itu ada segelas susu. Maka ia meminum sebagiannya. Dan memberikan sebagiannya kepada wanita yang dicintainya dan mencintainya itu. Ummu Hani’ segera meminumnya. Setelah meminumnya, barulah ia mengungkapkan, “Sesungguhnya aku sedang puasa.”

Laki-laki mulia itu bertanya, “Puasa wajib?”

Ummu Hani’ menjawab, “Bukan.”

Laki-laki mulia itu pun berkata, “Kalau begitu tidak masalah. Tapi apa yang membuatmu melakukan ini?”

Ummu Hani’ menjawab, “Karena aku ingin meminum bekasmu.”

Ya Robb, cintaaaa…..

Setelah cinta bertemu cinta. Pertemuan dalam naungan hidayah dan perjumpaan yang halal. Apakah dua cinta akan melebur menjadi bahagia?

Akankah mereka merangkainya hingga menjadi untaian bunga mengalungi sisa usia mereka?

Apakah ini masa cinta memanen hasil kesabarannya?

Ajaibnya… TIDAK

Mengapa…?

Bukankah….

Bukankah….

Ya, justru karena cintalah yang menghalangi. Karena tulusnya. Karena sucinya. Maka ia tak mau mengotori. Tak tega jiwanya menodai.

Cinta dalam diri Ummu Hani’ menjelaskan dengan berat kata,

“Aku telah mempunyai banyak anak. Dan aku tidak mau mereka mengganggumu.”

Cinta terus mengeja alasan,

“Karena hak suami sangatlah agung. Aku takut, jika aku sedang memberikan hak suami, aku mengabaikan sebagian hak diriku dan anak-anakku. Dan jika aku sedang memberikan hak anak-anakku, aku mengabaikan hak suamiku.”

Laki-laki mulia itu hanya terdiam. Sunyi lisan hingga jiwanya.

Sungguh kita telah belajar banyak dari cinta suci Ummu Hani’ dan laki-laki mulia. Sebagaimana cinta tak perlu diundang untuk datang, maka ia tak bisa diusir untuk pergi. Cinta sering masuk tanpa izin. Dan ia juga sering tak mau pergi walau telah diminta dan dipaksa pergi.

Karena ia memilih tinggal di hati. Sementara hati kita bukan milik kita.

Maka, cinta kembali menunjukkan keberadaannya dengan getarnya saat berjumpa dengan cintanya. Tak perlu risau. Seperti Ummu Hani’ dan laki-laki mulia itu. Getar cinta itu hadir saat pintu halal telah terbuka kembali. Dan laki-laki mulia itu menyatakan cintanya dengan berkata: Aku melamarmu.

Selanjutnya serahkan, bagaimana cinta memutuskan.

Tahukah anda, siapa laki-laki mulia yang bersemi cinta dalam dirinya itu. Siapakah laki-laki mulia yang tertahan cintanya karena ditolak lamarannya itu. Siapakah laki-laki mulia yang masih memberi ruang untuk cinta bersemayam puluhan tahun lamanya itu. Siapakah laki-laki mulia yang akhirnya mendialogkan cintanya itu.

Tahukah anda siapa beliau.

Beliau adalah Rasul kita, Rasulullah Muhamad shallallahu alaihi wasallam.

Ummu Hani’ pun berkata,

“Rasulullah melamarku, aku meminta maaf kepada beliau dan beliau pun memahami. Kemudian turunlah firman Allah:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ…………. اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ

Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya ………………………..yang turut hijrah bersama kamu.” (Qs. Al Ahzab: 50)

Aku tidak halal baginya karena aku bukan termasuk wanita yang hijrah bersamanya. Aku termasuk orang-orang yang dibebaskan (di Fathu Makkah).”

Cinta begitu tahu diri. Walau ia terus meminta dan menuntut. Tapi cinta suci tahu diri. Tak menuntut melebihi batas dirinya. Sadar siapa dirinya. Seperti cinta Ummu Hani’.

Setelah Ummu Hani’ menolak lamaran Rasulullah walau sebenarnya tak kuasa, Rasulullah terdiam. Tentu terlalu banyak ungkapan jiwa beliau, tapi tak terungkapkan.

Dialog cinta ini diakhiri dengan pujian tulus Rasulullah kepada wanita istimewa yang dicintainya itu. Pujian yang menambah kilau Ummu Hani’,

“Sesungguhnya sebaik-baik wanita yang mengendarai unta (maksudnya, wanita Arab) adalah wanita Quraisy; paling lembut kepada anaknya di usia kecil dan paling menjaga yang dimiliki oleh suaminya.”

Dan kisah cinta ini berakhir sampai di sini. Walau mungkin cinta tetap menetap di relung jiwa. Hingga ajal memisakan keduanya. Rasulullah menghadap Rabb nya pada taun 11 H dan Ummu Hani’ mengakhiri perjalanan cintanya di dunia menuju cinta abadinya di akhirat pada sekitar tahun 50 H.

Kisah cinta yang tulus tapi harus mengalami perpisahan cinta. Kemudian dipertemukan lagi dalam cinta. Tapi harus berpisah lagi untuk mengakhiri babak cinta mereka.

Tetapi tetap saling menyapa dengan tutur lembut, karena begitulah cinta. Tetap saling menghargai, karena begitulah cinta. Tetap saling menghadiahi, karena begitulah cinta. Dan saling mendoakan kebaikan walau tetap tak bisa bersatu, karena begitulah cinta yang suci dan tulus itu

 

2 Comments

  1. Zakiyyah Putri 25 June 2018
    Reply

    MasyaAllah….sampai berkaca-kaca mata ini membacanya. Benar-benar baru dengar kisah ini. Sungguh tak menyangka…

  2. Aska imaduddien 1 June 2019
    Reply

    Berkaca tak kuasa menahan gejolak jiwa, haru biru menyerbu kalbu

    Allaahu Rahmaan wa Rohiim

Leave your comment