Menjadi Ibu Visioner

“Aaah.. saya mah apa atuh? Bukan lulusan pesantren, yang penting anak-anak bisa sholat dan ngaji, udah cukup…”

“Saya belum jadi ibu shalihah.. gak bisa memaksa anak jadi shalih dan shalihah…”

“Saya punya banyak maksiat… ga berani mimpi punya anak-anak yang bisa jadi orang hebat…”

Pernah mendengar perkataan-perkataan semacam ini? Ungkapan rendah diri seolah tanpa daya dari orangtua yang merasa dirinya tidak sempurna dan berpasrah sampai situ saja. Kesalahan yang masih meninggalkan nokhtah-noktah noda dan resah hingga menutupi cahaya harapan, bahwa esok dengan izin Allah, generasi yang lahir dari rahimnya bisa jadi jauh lebih baik darinya.

Kalaupun berani bercita-cita, tak jauh-jauh dari hal yang berstandard dunia. Tidak sedikit orangtua yang berharap dan berjuang sekuat tenaga (bahkan kalau perlu memaksa) agar anak-anaknya memiliki profesi yang menghasilkan banyak uang: dokter, pilot, arsitek, pebisnis, artis, dll. Kelak punya rumah dan mobil mewah, investasi di mana-mana, dan bisa jalan-jalan keliling dunia. Lalu di mana letak akhirat itu berada? Mengapa anak-anak tidak diarahkan menjadi pencinta ilmu, alim Ulama, atau pemimpin bagi umatnya?

Mari kita merenung sejenak. Menapaki kisah sosok yang Allah pilih memeluk Islam tidak sedari awal. Selama lebih dari 20 tahun ia memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Sampai cahaya hidayah itu masuk ke dalam jiwanya. Meski ia banyak tertinggal, namun tidak mengurangi kemuliaannya. Ia menjadi bagian dari pujian: yang terbaik di antara kalian pada masa jahiliyyah pantas menjadi yang terbaik di antara kalian pada masa Islam.

Ia sosok perempuan cerdas. Sangat fasih dalam berbahasa. Pujangga yang cerdik. Keberaniannya mengalahkan sebagian pria. Kepercayaan dirinya tinggi. Tekadnya sangat kuat. Pandangannya tajam. Yang membayar dendam kesumat dengan cinta penuh pengorbanan. Yang menukar pekat kejahiliyyahan dengan Islam yang terang benderang. Al Mishri (2014:333) mengutip pandangan Adz Dzahabi tentang sosok ini dalam Taarikhul Islam, “… termasuk wanita Quraisy yang paling cantik dan cerdas.” Siapakah ia? Ia adalah Hindun binti ‘Utbah.

Dari dendam hingga cinta

Al Mishri (2014:332) menuliskan, “Jika anda pernah menyaksikan seorang manusia yang mengalami dua periode berbeda, yakni periode kafir dan periode iman, maka anda akan menemukannya pada periode kedua sebagai sosok yang berbeda seutuhnya dari keadaan periode pertama.”

Hindun binti ‘Utbah masuk Islam pada hari pembebasan kota Mekah. Setelah Rasulullah ﷺ  membaiat kaum laki-laki, beliau membaiat kaum perempuan, termasuk istri Abu Sufyan ini. Ia menyamar karena takut dikenali oleh Rasulullah ﷺ . Ia malu karena perbuatannya terhadap Hamzah ra.

Apa yang dilakukan Hindun terhadap paman kesayangan Nabi itu adalah luapan emosi dan kebencian karena kehilangan orang-orang yang dicintainya. Dalam perang Badar, ‘Utbah sang ayah, Syaibah sang paman, dan Al Walid bin ‘Utbah saudara kandungnya tewas di tangan kaum Muslimin.

Al Mishri (2014:334) pun menguraikan, “Pamannya terbunuh oleh Hamzah seorang diri, sedangkan ayahnya terbunuh oleh Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu, Hindun tidak pernah bisa tidur nyenyak karena memikirkan cara untuk membalas dendam…”

Jiwa yang terguncang karena kekalahan di Badar, serta kematian orang-orang tersayang mendorong Hindun mengobarkan semangat musyrikin Quraisy untuk kembali berperang. Kemudian ia mendoktrin Wahsy (budak Jabir bin Muth’im yang ditugaskan membunuh Hamzah) dengan kedengkian-kedengkiannya dan menjelaskan peran yang harus diembannya. Hindun menjanjikan perhiasan-perhiasan yang paling mahal untuknya sebagai imbalan jika ia berhasil dengan misinya: membunuh Hamzah ra.

Perang Uhud pecah. Wahsyi berhasil membunuh Singa Allah, paman Nabi ﷺ tercinta. Berita ini disambut gembira oleh Hindun. Ia bersama wanita-wanita musyrik datang untuk merusak tubuh pasukan muslim yang telah gugur dengan cara yang sangat biadab. Hindun memutilasi tubuh Hamzah ra.

Detik berganti, tahun berselang, Allah berkehendak membuka dada perempuan ini untuk menerima Islam saat penaklukan Mekah. Allah membersihkan jiwanya dari kecendrungan dengki, menyembuhkan hatinya yang luka, menyibak tabir hitam dari akalnya, mencabut kebatilan dari ilmunya yang haq. Sehingga ia tidak lagi tunduk pada aqidah jahil yang rusak. Begitu masuk Islam ia memukul berhala miliknya yang ada di dalam rumah dengan kapak seraya berkata, “Dahulu, kami terpedaya karenamu.”

Setelah memeluk Islam, Al Mishri (2014:346) juga mengutarakan bahwa, “Hindun ra. Menjadi seorang wanita ahli ibadah; rajin shalat malam dan berpuasa. Ia sangat konsisten dengan status barunya… saat Rasulullah ﷺ wafat, Hindun sangat terpukul, kerena merasa terlalu lama memusuhi Rasulullah. … Hindun tetap mempertahankan keislamannya…”

Sejarah mencatat perannya dalam perang Yarmuk. Ibnu Jarir menyatakan (2014:347), “Pada hari itu kaum Muslimin bertempur habis-habisan. Mereka berhasil menewaskan pasukan Romawi dalam jumlah yang sangat besar. Sementara itu, kaum wanita menghalau setiap tentara muslim yang terdesak dan mundur dari medan laga… Dalam suasana seperti itu, Hindun menuju barisan tentara sambil membawa tongkat pemukul tabuh dengan diiringi oleh wanita-wanita muhajirin. Hindun membaca bait-bait puisi yang pernah dibacanya dalam perang Uhud.”

Pada akhirnya, cinta pada Rabbnya meremukkan kejahiliiyyahannya di masa silam. Kebaikan-kebaikannya mampu menghapus keburukan yang telah lama ia lakukan.

Keyakinan yang menembus batas

Sebagai seorang ibu, Hindun adalah motivator yang mampu menjadi teladan. Ash Shalabi (2014: 31) mengutip dialog dalam Al Bidayah wan Nihayah,  “Ayah dan ibunya memiliki firasat mengenai dirinya sejak kecil bahwa ia mempunyai masa depan yang agung. Hal ini diketahui ketika Abu Sufyan melihatnya merangkak, ia berkata kepada istrinya, “Sesungguhnya anak kita ini kepalanya besar. Sungguh, ia sangat pantas memimpin kaumnya.” Hindun menanggapi, “Kaumnya saja? Celakalah aku jika ia tidak memimpin bangsa Arab secara keseluruhan.”

Abban bin Utsman meriwayatkan, “Suatu ketika Muawiyah sedang berjalan bersama ibunya, Hindun. Ketika ia terpeleset, kontan Hindun berkata, “Berdirilah! Semoga Allah tidak mengangkat derajatmu.” Ada seorang Badui melihat, lalu ia berkata, “Mengapa engkau mengatakan hal tersebut kepadanya? Demi Allah, sungguh saya menduga bahwa ia akan memimpin kaumnya.” Hindun berkata, “Semoga Allah tidak mengangkat derajatnya jika ia tidak memimpin kaumnya.”

Lihatlah apa yang diucapkan Hindun tanpa keraguan itu. Dengan tegas ia menyatakan bahwa anaknya akan menjadi pemimpin umat. Keyakinan yang menjadi doa. Allah mengijabah ucapannya. Putranya, Muawiyah bin Abi Sufyan adalah juru tulis Nabi ﷺ. Termasuk golongan yang Allah berikan ketenangan dalam Perang Hunain yang terdapat pada Q.S At Taubah:26, dan seperti yang telah disabdakan Nabi ﷺ menjadi orang yang pertama kali berperang di laut. Ia pun pernah didoakan Nabi ﷺ, “Ya Allah jadikanlah ia sebagai pemberi petunjuk, orang yang mendapat petunjuk, dan berilah petunjuk melaluinya.”(Ash Shalabi, 2014:46)

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra., Al Faruq memberikan amanah kepada Muawaiyah sebagai pembebas Kaisaria, dan pada 17 H mengangkatnya sebagai pemimpin wilayah Yordania. Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan ra., ia menjadi gubernur yang paling kuat dan berpengaruh, Syam ada di bawah kendalinya. Ia memulai perang di laut secara nyata pada masa ini pula. Setelah periode khilafah rasyidah yang dibangun di atas manhaj nubuwwah berakhir dengan mundurnya Hasan bin Ali, cucu Nabi ﷺ ini memberikan jabatannya kepada Muawiyyah bin Abi Sufyan.

Dalam Al Fatawa, putra Abu Sufyan dan Hindun ini disebutkan sebagai sebaik-baik raja bagi umat ini. Tidakkah kita belajar? Benarlah apa yang dikatakan Hindun bahwa anaknya akan menjadi pemimpin umat.

Bila masih ada pesimisme dalam diri bahwa kita dapat melahirkan dan mendidik anak-anak menjadi pribadi yang sholih dan hebat. Jika ternyata masa lalu yang mungkin kelam jauh dari ideal merenggut optimisme masa depan. Maka, mari kita ambil pelajaran dari kisah Hindun. Hal ini tidak berlaku baginya. Kejahiliyyahannya dahulu tidak menyurutkan keyakinan bahwa anaknya akan menjadi sosok hebat pemimpin umat. Itu terbukti.

Mari renungkan bersama, bahwa yang terpenting bukan masa lalu kita, tapi masa depan kita. Bukan input awalan kita, tapi proses yang sedang kita tempuh. Karena itu, fokuslah pada hari ini dan nanti. Mari berupaya menjadi ibu yang memiliki visi melampaui diri dan zaman ini. Teruslah berdoa dan berikhtiar sekuat tenaga. Hasilnya? Serahkan pada Yang Maha Kuasa. Semoga anak-anak kita menjadi bagian dari yang mengembalikan kejayaan Islam, bi’idznillah

Daftar Pustaka:

Al Mishri, Mahmud. 2014. 35 Shirah Shahabiyah, Jakarta: I’thisom Cahaya Umat.

Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2014. Biografi Muawiyah Bin Abi Sufyan, Jakarta: Beirut Publishing.

1 Comment

  1. Puji Utami 29 November 2018
    Reply

    MasyaAlloh,,kisah para sahabat dan sahabiyah selalu menginspirasi..

Leave your comment