Mengubah Luka Menjadi Bahagia

“Saat itu pasukan Islam cerai berai. Hanya ada beberapa orang yang jumlahnya kurang dari sepuluh, termasuk aku, dua anakku, dan suamiku. Rasulullah memerintahkan kepada mereka yang lari ke belakang untuk memberikan senjata dan perisainya kepadaku yang saat itu hanya membawa pedang tanpa perisai. Yang menyerang kami ternyata tentara berkuda, hingga kami kewalahan. Seandainya saja mereka hanya berjalan kaki seperti kami, insya Allah kami dapat mengalahkan mereka.” Ungkap Ummu Umarah menuturkan apa yang ia alami saat Perang Uhud. (Mishri, 2011:65)

Seorang musuh tentara berkuda menyerang mengayunkan pedangnya ke arah Ummu Umarah. Ia memukul Ummu Umarah. Bersyukur Ummu Umarah berhasil menangkisnya dengan perisai.  Ummu Umarah pun segera memukul tumit kudanya, menebasnya, sehingga ia terjatuh dari punggung kuda. Spontan Nabi berteriak, “Ibumu… Ibumu…” Putra Ummu Umarah pun bergegas membantu ibundanya tercinta hingga Ummu Umarah berhasil mengantarkan tentara berkuda itu menemui ajalnya.

Abdullah Bin Zaid berkata, “Saat itu aku terluka parah. Darah terus mengalir dari luka itu. Nabi memberi nasihat, “Balutlah lukamu…” ibuku datang membawakan pembalut luka, kemudian membalut lukaku. Setelah itu Nabi berkata, ‘Bangkitlah Nak, lawanlah pasukan musuh! Beliau juga berkata, ‘Wahai Ummu Umarah, apa yang kamu lakukan ini tidak bisa dilakukan orang lain.”(Mishri. 2011:66)

Tentara musuh yang melukai putra Uummu Umarah mendekat lagi. Rasulullah berkata, ‘”Dialah yang melukai anakmu.” Ummu Umarah menebas kakinya hingga tersungkur. Rasulullah pun tersenyum kepada Ummu Umarah hingga terlihat giginya seraya berkata haru, “Kau telah membalasnya”.

Cuplikan peristiwa di atas muncul seketika dalam kepala. Hadirkan gemuruh cinta yang memenuhi dada. Aroma perjuangan terhirup bersama udara hingga ikut mengaliri darah. Langkah kaki menjejak mantap di Jabal Rumat (Gunung Pemanah). Tatapan kami lekat-lekat tertuju pada hamparan gunung istimewa. Gunung yang menjadi saksi sejarah kemuliaan. Pertarungan yang haq dan bathil 14 abad silam. Siang itu, di bawah terik berkisar 37 ºC, guru kami Ustadz Budi Ashari, Lc membawa kami menyelami kisah abadi di gunung yang kita cintai, dan gunung itupun mencintai kita. Ialah Jabal Uhud.

***

Berbicara tentang Perang Uhud, rasanya tidak akan utuh bila kita tidak membahas seorang perempuan mulia. Beliau adalah Ummu Umarah. Seorang istri yang sangat paham akan kewajibannya. Seorang ibu yang jiwanya dipenuhi kasih dan sayang. Pada banyak siang ia berpuasa. Dan malam-malamnya ia isi dengan shalat dan dzikir kepada Robbnya.

Mujahidah pertama yang berjuang di medan laga. Yang Rasulullah nyatakan kedudukannya lebih baik daripada seribu laki-laki. Bahkan Rasulullah langsung mendoakannya beserta keluarganya, “Ya Allah… jadikanlah mereka tetanggaku di surga”.

Mengapa ia begitu istimewa? Mari bersama kita selami kisahnya. Nama lengkapnya Nusaibah binti Ka’b bin Amru bin Auf bin Mabdzul. Imam Dzahabi rahimahullah menuturkan bahwa Nusaibah dalah seorang wanita mulia dan pejuang. Ia adalah Kaum Anshar dari Suku Khazraj. Silsilahnya Najjar, dari keluarga Mazini. Ia menikah dengan Zaid bin Ashim dan dikarunai 2 putra; Abdullah dan Habib. Kedua anaknya hidup pada masa periode Nabi. Saudaranya, Abdullah bin Ka’b adalah adalah ahli Badar, sosok yang dijamin masuk surga. Ummu Umarah bagian dari yang menerima dakwah Mushab bin Umair. Menerima seutuhnya cahaya Islam. Ia merupakan satu di antara 73 orang yang berbaiat Aqabah kedua.

 

Luka-luka Menganga

Kondisi luka fisiknya sangat serius. 13 tebasan pedang mendera tubuhnya saat melindungi Rasulullah dari serangan musuh. Bahunya terluka parah, menganga mengalirkan banyak darah, meski telah dibebat dengan berlapis-lapis kain. Namun ia tak gentar menyambut seruan jihad Rasulullah keesokan harinya menuju Hamra Asad. Namun akhirnya Rasulullah tak mengizinkan ikut serta karena lukanya yang sangat parah.

Syaikh Al Mishri (2011:67) menuliskan bahwa selama setahun ia terus mengobati luka akibat dari Perang Uhud. Ketika Rasulullah dan pasukan Islam berangkat untuk menghadapi orang-orang Bani Quraizhah yang melanggar perjanjian yang telah disepakati, Ummu Umarah juga ikut dalam pasukan itu. Ia telah mengajarkan kepada kita luka fisik yang ia alami sama sekali tidak melemahkan semangatnya karena kekuatannya bersumber dari Allah azza wa jalla.

Pada Muharram tahun ke-7 Hijriyah Ummu Umarah juga ikut ke Khaibar dan sangat faham segala konsekuensinya. Sebab sebelum berangkat, Rasulullah menegaskan bahwa hanya yang siap mati syahid yang boleh ikut serta. Ia menjadi pelaku dan menyaksikan keberanian pasukan Muslim .

Ummu Umarah pun tak ketinggalan dalam perang Hunain. Bahkan ia berhasil membunuh seorang musuh tentara berkuda.

Tak hanya sampai di sana. Selain luka-luka fisik yang ia terima saat peperangan, luka batin pun menjadi ujian baginya. Bayangkanlah bagaimana perasaan seorang ibu saat anak tercintanya yang diutus Sang Nabi untuk menasihati Musailamah, malah dibunuh oleh nabi palsu itu? Namun kematian putranya, Habib bin Zaid, tak membuatnya bersedih berlama-lama. Ia tak membiarkan jiwanya putus asa. Kejadian ini membuatnya berdoa kepada Allah agar bisa melihat kematian Musailamah. Jika tidak, ia juga meminta agar mendapatkan syahidahnya saat memerangi orang yang mengaku-ngaku sebagai nabi itu. Dengan penuh ketegaran ia menyerahkan dirinya, anaknya, dan seluruh miliknya hanya kepada Allah saja.

Puncaknya saat perang Yamamah. Ummu Umarah meminta izin untuk ikut bergabung dalam pasukan Islam kepada Abu Bakar, Sang Khalifah. Ia pun ikut mengangkat senjata. Berlarian menebas tentara musuh dengan pedangnya. 11 luka ia terima namun tak begitu dirasakannya sebab diliputi syukur. Allah telah mengabulkan pintanya, ia menyaksikan kematian nabi palsu yang telah mendurhakai Rasul-Nya bahkan membunuh putranya tercinta.

Ummu Umarah adalah wujud kemuliaan. Dari beliau kita belajar tentang keistimewaan yang menjelma dalam peran yang lengkap. Bukan seadanya dan biasa-biasa saja. Karena itu Allah dan Rasul melihat istimewa peran-peran dan amanah yang ditunaikannya.

Dari beliau kita belajar tentang keterpaduan. Saat berpadunya kekuatan badan dan ketegaran batin dalam diri seorang wanita. Kekuatan yang tak menghilangkan kelembutannya. Kelembutan yang tiada menyirnakan kekuatannya. Wanita yang tidak membiarkan dirinya terpancing dan sibuk dengan hal-hal kecil.

Ia relakan anak-anaknya pergi ke medan jihad. Meski nyawa taruhannya. Tak cukup sampai di situ saja, ia pun membersamai perjuangan itu. Tanpa mengeluh bahwa ini adalah beban berat kehidupan. Tanpa curhatan dan cuitan, sebab sadar benar ini adalah konsekuensi dari sebuah pilihan memeluk Islam.

Beliau menjadi teladan untuk kita bagaimana berjuang untuk mendapatkan ridho-Nya. Meski dipenuhi luka-luka jasad maupun jiwa. Walau kehilangan buah hatinya. Juga sosok-sosok yang dicintainya. Tanpa ratapan. Tanpa air mata berlebihan. Karena faham benar ini hanya perpisahan sementara, bukan selamanya. Akhiratlah tempat tinggal abadinya.

Semua kesulitan itu tak menyurutkan langkahnya. Menyongsong apa yang menjadi fokus besar dan tujuan utama dalam hidupnya. Hingga mengikhlaskan lukanya menjadi jalan kebahagiannya.

Mampukah kita meneladaninya? Semoga…

 

Referensi:

Syaikh Mahmud Al Mishri. 2011. 35 Sirah Nabawiyah. Jakarta: Al Ithishom.

 

0 Comments

Leave your comment