
Ada kalanya kita merasa sendirian.
Tak berdaya, tak ada yang mendukung.
Yang ada dibombardir kanan kiri.
Tidak ada yang peduli apa yang menjadi cita besar kita.
Mereka hanya peduli pada apa fakta yang ada di depan mata,
dan pandangan masyarakat kebanyakan.
Kadang rasa itu mendominasi,
terus…tak berhenti,
hingga sesak!
Sakit sekali rasanya,
terutama ketika kita yakin kita berdiri pada jalan kebenaran,
Namun justru harus berjibaku ditentang oleh orang terdekat,
Ayah, ibu, ayah mertua, ibu mertua,
Kakak, kakak ipar, tante, oom, sepupu,
Sebutlah semua keluarga besar kita,
Ahhhhk…..
Di atas semua itu,
Ada yang terasa sangat menyakitkan,
dan paling sulit dilawan,
Ketika suami tak sejalan, tak se-visi, tak se-misi,
Bagai roda sepeda yang berjalan hanya dengan roda belakang,
Berat, seperti tak bergerak.
Sabarlah wahai saudariku,
Bersabarlah…
Belajarlah dari salah satu perempuan pilihan terbaik di muka bumi: Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.
Fir’aun yang satu ini yang disebut Allah sebagai orang yang kelewat batas, mengaku dirinya Tuhan, dan membunuh semua bayi laki-laki di negeri Mesir karena ketakutan dengan mimpinya sendiri.
Ingatlah ketika Asiyah menemukan Musa Alaihissalam,
Langsung jatuh hati Asiyah melihat Musa, bukan hanya ingin menyelamatkannya, bahkan lebih dari itu, Asiyah bahkan ingin mengambilnya menjadi seorang anak.
Pernah terbayang menjadi Asiyah?
Yang mempunyai suami berkuasa atas segala sesuatu, nyawa seseorang terlalu remeh baginya, dia bisa membunuh siapa saja, kapan saja.
Maka bayangkan keberanian macam apa yang dimiliki oleh Asiyah ketika dengan lembut mengatakan:
“Lihatlah anak ini, Ia adalah penyejuk mata bagiku dan bagimu,“
Sungguh berani, kalau tidak dapat dikatakan nekat!
Dan seperti sudah dapat diduga, beginilah jawaban Fir’aun,“Untukmu, tidak untukku.”
Yang terbayang yang akan terjadi berikutnya adalah bayi kecil mulia, Musa, pasti akan langsung disembelih oleh Firaun, sebagaimana perintahnya bagi bayi-bayi laki-laki lainnya.
Betapa patah hatinya seorang istri mendengar jawaban suaminya yang langsung membantah keinginannya. Namun Asiyah tidak surut asanya. Dia tetap menggendong bayi Musa.
Dan apa yang terjadi kemudian sudah dapat kita tebak, karena kita sudah membacanya lewat Al Quran.
Musa selamat.
Dari sini kita belajar,
Mungkin ide kita seperti ditolak mentah-mentah, padahal sudah susah payah kita mengumpulkan kekuatan dan keberanian kita mencoba mengusulkan. Menyusun kata demi kata yang digunakan sehingga bisa lembut menyampaikannya kepada suami. Namun reaksi suami tidak seperti yang kita harapkan!
Jangan patah semangat, berdoalah!
Seorang Fir’aun yang kejam luar biasa pun luluh walau tadinya terlihat seperti menolak usulan Asiyah.
Maka diangkatlah Musa menjadi anak mereka.
Kisah berlanjut.
Ternyata Musa tak mau menyusu pada satupun perempuan yang ada di istana. Hingga Kakak perempuan Musa berinisiatif menawarkan Musa untuk disusui oleh ibunya. Dan ternyata Musa memang hanya mau menyusu dari ibunya sendiri.
Asiyah, yang tidak tahu siapa sebenarnya perempuan yang Musa hanya ingin menyusu darinya, pun langsung menawarkan ibunda Musa untuk tinggal di istana dan bekerja untuk menyusui Musa.
Namun ibunda Musa menolak, karena masih punya anak yang masih harus dijaganya, yaitu Harun. Maka Asiyah yang sebenarnya sudah sangat merindukan seorang anak pun akhirnya merelakan Musa untuk dibawa pulang oleh Ibu (kandungnya), dan sesekali di bawa ke istana.
Di sini kita lagi-lagi melihat, Asiyah tidak mendapatkan apa yang diinginkannya sebenarnya. Dia harus merelakan anak yang sudah mengambil hatinya tinggal berjauhan darinya.
Dari sini kita belajar,
Terkadang kita harus merelakan sesuatu itu lepas dari tangan kita, padahal kita sangat menginginkannya. Qadarullah wa maa syaa-a fa’ala. Takdir Allah pasti yang terbaik!
Kejadian berikutnya, tidak kalah mendebarkan.
Bayi Musa menarik jenggot Fir’aun. Fir’aun langsung menghubungkan kejadian ini dengan mimpinya lagi, dan kali ini memberi perintah supaya Musa langsung dibunuh. Maka dengan sigap, Asiyah mencegahnya. Kecerdasan seorang Asiyah membuatnya menawarkan Firaun untuk menguji Musa untuk memilih batu permata atau bara api. Ternyata Musa memilih bara api, dan ini menunjukkan bahwa Musa memang tidak mengetahui apa-apa dan tidak pantas dicurigai sebagai bakal pembunuh Fir’aun.
Dari sini kita belajar,
Kecerdasan, kesigapan sekaligus ketenangan seorang istri itu diperlukan ketika suami dalam posisi marah atau panik. Kita belajar untuk tidak diam saja melihat kemungkaran di hadapan kita.
Dengan semua usahanya menjadi istri yang baik bagi suaminya, lembut dalam menyampaikan pendapatnya, penuh kasih sayang terhadap anak angkatnya, tidak serta merta membuat seorang Asiyah bisa selalu mendapatkan yang dia inginkan.
Dia seringkali merasakan kesendirian, kekecewaan, kegundahan, bahkan harus merelakan berkali berpisah dengan anak angkat yang dicintainya.
Merasa sendiri,
Merasa berjuang sendiri,
Ini memang yang paling sering membuat frustasi.
Apa yang membedakan Asiyah dengan kebanyakan dari kita yang sering merasa frustasi?
Asiyah yakin dia bersama Allah!
Maka ketika pada akhirnya dia tidak tahan untuk membuka tabir keimanannya, Fir’aun langsung memerintahkan Asiyah disiksa hingga mati.
Siksaan ini nyata! Ini siksaan fisik! Bukan sekadar rasa sakit yang dirasa di dada saja. Tapi ini siksaan panas api dengan keadaan tangan dan kaki terikat. Asiyah yang tegar ini pun berdoa kepada Rabb-nya. Doa yang kemudian dicatatkan dalam Al Quran untuk menjadi pelajaran berharga:
“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang zhalim.” (QS At-Tahrim: 11)
Apa yang tidak mungkin bagi Allah?
Maka Allah singkapkan hijab surgawi dan diperlihatkan kepada Asiyah istana untuknya di surga.
Dan Asiyah pun tersenyum bahagia menjelang maut menjemputnya. Dia tahu dia berada di jalan kebenaran dan janji Allah itu pasti.
Jadi apa yang menghalangimu untuk berhusnuzhan kepada Rabb-mu, wahai saudariku?
Tidak semua orang mendapatkan apa yang dia inginkan di dunia.
Kecewa pada hasil setelah ikhtiar sekuat tenaga?
Mengambil langkah yang kita yakini sebagai kebenaran yang malah membuat kita dikritik kanan dan kiri?
Tidak didukung sebagaimana perempuan lain mendapat dukungan penuh dari suami dan keluarga besarnya?
Merasa sendirian dalam berjuang?
Ahhhkkk….
Sungguh, kamu tidak sendiri…
Sakit, perih, sedih, sendiri, sepi, bahkan merasa terancam….
Bukankah ini juga yang dirasakan oleh Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun?
Mungkin hasilnya tidak segera bahkan tidak nyata bisa kita lihat sendiri, sebagaimana Asiyah juga tidak instant melihat hasil indah dari keputusannya mengangkat Musa sebagai anak.
Tapi sadarkah sebenarnya Asiyah bahwa dia sedang menyelamatkan satu generasi yang diizinkan mengenal Rabb-nya yang sebenarnya.
Asiyah mungkin tidak sadar ketika itu.
Begitu pun juga kita wahai para istri dan ibu yang kuat berdiri tegak dalam keimanan.
Kita juga mungkin tidak sadar, bahwa bisa jadi, ada satu generasi mukmin, generasi Rabbaniyah yang sedang kita selamatkan!
Bukankah janji Allah itu pasti?
Maka ketika merasa sendiri, merasa tak ada yang menolong, merasa ingin menyerah, ingatlah kita punya Allah.
Menangis, berharap, merengeklah kepada Rabb-mu, “Walau mungkin kami tak semulia Asiyah, namun izinkan kami berdoa sebagaimana doanya, untuk dibangunkan sebuah rumah di surga di Sisi Mu yaa Rabb,karena kami yakin, janji-Mu pasti”
(Kutipan satu sub bab dalam buku Peranmu Surgamu. Mohon doakan bisa selesai tepat pada waktunya)